Rabu, 18 Maret 2015

CIUMAN TERAKHIR UNTUK NATALIE

 
Pagi itu isak tangis ibu mengiringi kepergianku, kepergian sementara untuk menimba ilmu di kota Solo, Jawa Tengah. Wajar, aku adalah anak bungsu sekaligus anak kesayangan di keluargaku. Aku memang beruntung, meskipun aku terlahir di tengah keluarga yang sederhana tapi aku tak pernah kekurangan kasih sayang hingga saat ini.
Namaku Natalie, panggil saja Nanat, aku adalah seorang gadis desa dengan penampilan yang biasa-biasa saja dan bisa dibilang sedikit kuper.
Semasa sekolah aku memiliki segudang prestasi dengan peringkat 1-2 di kelas sejak SD hingga lulus SMK.

Setelah lulus SMK aku sempat bekerja di sebuah dealer motor dan juga salon kecantikan, sayangnya aku belum siap menghadapi tantangan di dunia kerja hingga aku resign dan memutuskan untuk dirumah saja. Saat itu tak terlintas untuk kuliah, meskipun banyak pihak yang menyayangkan keputusanku tapi orangtuaku bisa menerimanya, sepertinya melihatku mampu bertahan hidup pun sudah merupakan hal yang mampu mereka syukuri. Pasti kalian penasaran, apa yang membuat hal itu terjadi ? Ceritanya panjang,

Semua bermula saat aku mengenal cinta pertamaku di kelas 4 SD, dan kemudian hubungan yang terajut melalui surat di jaman baheula itu berlanjut hingga SMP. Bisa dibilang masa remajaku tersita oleh seorang pemuda dan aku hanya merasa mengenal satu cinta saat itu. Kedua orangtuaku sangat senang dengan hubungan ini, begitu juga dengan kedua orangtuanya. Hubunganku mulai serius dengan Jey (nama pemuda itu) semenjak aku menginjak masa SMK dan dia melanjutkan pendidikannya sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Sastra Indonesia saat itu.

Karena aku dikenal sebagai gadis dari keluarga baik-baik dan dia pun juga begitu dikagumi sebagai seorang pemuda dengan sikap santun dan pendiam, hubungan kami pun menjadi bahan perbincangan hingga pelosok desa, bahkan bisa dibilang saat itu aku dan dia adalah sorotan semua orang. Kerap kali aku diantar jemput saat sekolah, kami sering menghabiskan waktu berdua, mengunjungi tempat-tempat indah di kota Pacitan. Tidak hanya itu, aku bahkan kerap kali diminta menginap untuk menemani ibunya saat ditinggal keluar kota.

Ibunya yang terkenal cerewet dan ayahnya yang galak juga pelit mulai luluh dengan ketulusanku dan mereka menyambut aku dengan hangat dalam keluarga mereka. Bagaimana tidak, selama menjalin hubungan yang tidak sebentar itu, aku selalu bersikap manis dan tidak pernah meminta ini itu meskipun keluarga mereka tersohor dengan kekayaan yang melimpah.

Suatu hari ada gelagat aneh dari kakak sepupu dan juga om ku, mereka yang semula tampak mendukung hubunganku mendadak mempengaruhiku untuk meningalkan Jey. Ada apa ini? pikirku dalam hati. Ada beberapa pihak yang mulai membeberkan perilaku Jey yang tak pernah ku ketahui.

"Dia itu pemabuk nat, dia sering kok di bar sama cewek-cewek panggilan." ujar Agung
Aku tertegun sejenak mendengar kata-kata itu, "Apa benar gitu Gung? Setahuku Mas Jey baik-baik selama ini."
" Ah kamu udah dibutain sama cinta sih, percuma mau dibilangin kaya apa, tapi nanti kalo kamu tau dan sakit hati bukan salahku, yang penting aku udah ingetin sebelum terlalu jauh." tambah Agung dengan nada tegas
"Oh gitu ya makasih ya gung aku bakal cari tau lebih jelasnya."

Semenjak saat itu, aku lebih sering diam dan memikirkan semua perkataan Agung. Aku memberanikan diri untuk mengutarakan nya pada Bapak dan Ibu. Bapak tidak membantah atas apa yang aku ketahui tentang Jey, Bapak justru membenarkan hal itu karena Bapak tau sejak awal hanya saja beliau lebih memilih diam untuk menjaga perasaaanku. Sementara Ibu masih berusaha menguatkanku untuk mempertahankan Jey. Wajar Ibu bersikukuh agar aku tetap menikah dengan Jey karena malu dengan warga desa yang sudah mengetahui hbunganku dengan Jey sejak lama dan menganggap itu sebagai hubungan yang serius.

"Kita tunggu saja, kalo dia melamar ya apa salahnya diperbaiki, kasih kesempatan lah buat pihak Jey karena hubungan ini sudakh terlanjur menjadi perbincangan." tutur Bapak
"Iya nduk, jangan terlalu mendengar apa kata orang, bisa saja mereka hanya berusaha mengecoh kamu." tambah Ibu
"Njeh Pak, Bu."
Kemudian aku merenung dan berdiam diri di dalam kamar, tidak lupa aku menyertakan doa kepada Tuhan agar aku diberi petunjuk untuk mengetahui kebenaran atas perkara yang tengah aku hadapi.

Keesokan harinya, tiba waktu yang dijanjikan Jey untuk mengantarku mencari kost di dekat sekolah yang berjarak kurang lebih 35 Km dari rumahku itu. Tiba-tiba saja Jey mengatakan janji itu batal karena dia harus pergi ke Jakarta bersama kakak sepupuku, namanya Wiwin. Aku sempat kecewa, tapi ya sudahlah aku mencoba mengerti agar tidak menyulut api pertengkaran.

Aku ingat btul, waktu itu pukul satu siang HP ku bergetar disertai nada SMS masuk, aku menatap ke layar ponselku, ada nama "Maz.Jey" disana.

"Kamu jangan ganggu mas Jey lagi, ini dia ke Jakarta sama aku, aku pacar yang diapilih buat dia nikahin." bunyi SMS itu
"Loh maaf ini siapa njh? Jangan bercanda." balasku
"Aku Dina, mas Jey pergi sama aku, kita mau nikah."
SMS itu terus berdatangan, dan membuat hatiku berkecamuk tak menentu.

Memang belakangan Mas Jey berubah, dia menjadi sangat angkuh, kaku dan cuek. Tidak seperti biasanya, da tidak pernah lagi mengajakku ketemu atau menunjukkan perhatian padaku, bahkan kerap kali ia melontarkan kalimat-kalimat kasar yang melukai perasaanku. Semua itu hanya aku tanggapi wajar, aku pikir itu pengaruh dari kesibukan dan kelelahannya bekerja.

"Lama-lama aku kepikiran juga mbak, aku harus gimana ?" tanyaku pada Kakakku
"Kita cari tau yuk dek tanya sama ortunya aja piye?" saran kakak
"Ya ndag apa-apa mbak."

Malam harinya ku beranikan diri untuk mengunjungi rumahnya, kemudian tercipta obrolan hangat  bersama kedua orangtuanya yang sering kusisipi sedikit lelucon kecil. Disela obrolan aku menyinggung soal pernikahan Jey dengan Dina. Sontak orangtuanya kaget kemudian aku menjelaskan SMSnya. Ibunya menjelaskan mungkin saja itu ulah mas Wiwin yang mencoba menggodaku. Aku sedikit lebih tenang dengan penjelasan itu, aku mencoba kembali menjernihkan pikiranku.

Entah apa yang mendorongku melakukannya, aku meraih sebuah HP Nokia 1600 milik ibunyayang berada tepat di sebelah tempat dudukku. Kubuka kotak masuk yang berisi 66 pesan, nomor demi nomor tanpa nama aku buka. Air mataku mengalir membaca SMS-SMS di dalamnya, aku sempat mengambil beberapa nomor untuk memastikan. Ternyata benar, Jey selingkuh di belakangku dengan HP ibunya dan mungkin di beberapa HP lain yang dia sembunyikan.

Bukan hanya dengan satu orang Jey menghianatiku tapi 4, dan salah satunya adalah teman curhatku sejak SMP, itupun yang aku ketahui. Sebut saja Dina, Novi, Yanti dan seorang janda yang tak ku ketahui namanya. Aku tak habis pikir Jey tega melakukan ini padaku, apalagi dia berselingkuh dengan sahabatku, dengan mantannya yang sudah berkeluarga dan juga seorang janda hingga memiliki anak dari Jey. Tuhan, dimana nuraninya ??? Bak disambar petir aku menangis sejadi-jadinya, aku hubungi wanita-wanita itu dan mereka menerangkan semuanya.

Sesampainya dirumah, Kakakku, Mbak Ani mencoba menenangkanku. Tiba-tiba HP ku berdering, Jey meneleponku. Saat itu aku pikir dia akan mengutarakan penyesalannya dan meminta maaf atas semua yang dia lakukan, tapi aku salah besar. Dia justru memakiku, menghina dan menghujatku seperti binatang. Dia marah karen aku menghubungi wanita-wanita yang dia sembunyikan. Dan sejak saat itu kami tak lagi saling berhubungan.

Aku menujukkan niat baik untuk memperbaiki semua hal yang seharusnya dia perbaiki, tapi namapaknya Jey sudah bukan yang dulu lagi. Cinta yang kami pupuk semenjak masa kanak-kanak itu pun memudar diterpa angin. Cinta Jey terbagi dimana-dimana. Padahal selama ini aku menyianyiakan begitu banyak orang untuk mempertahankannya. Aku menolak 32 laki-laki selama menjalin hubungan dengannya, hebat bukan ? Aku yang sangat berharga dimata mereka yang ku abaikan ternyata tak lebih dari seonggok sampah bagi Jey.

Setiap hari aku mencurahkan kasih sayang dan perhatianku bagi dirinya, orangtua dan kakek neneknya. Aku yang membantu mengerjakan tugasnya hingga larut malam, aku yang merawatnya saat sakit, aku yang menunggu ibunya bersalin, aku yang memasak mencuci dan diperlakukan seperti pembantu dirumahnya kini harus terhempas dalam luka sedalam ini. Bukan aku menyesal, bukan aku tidak ikhlas, tapi hati mana yang tak terluka dengan perlakuan yang bahkan tak lebih baik dari binatang ini ???

Aku mengisi hari-hariku bersama buku diary, tak henti-hentinya aku menarapi semua hal yang sempat terajut indah dan kini terbengkalai, hilang tanpa bekas. Aku terisak dalam doaku setiap malam, kuminta Tuhan menguatkan diriku dan jika mungkin mengembalikan cinta Jey padaku. Semua mungkin menganggapku gila, ya.. mungkin aku gila. Aku yang tau jelas semua wujud penghianatan Jey dan amsih saja mengharap pecundang itu kembali. Beberapa kali aku mencoba menyiksa dan melukai diriku sendiri tapi Tuhan masih ingin aku hidup lebih lama.

"Tuhan kembalikan dia, aku mampu memeprbaikinya dengan izinMu, aku mohon biarkan aku bersatu dengannya agar orangtuaku tidak perlu menanggung malu atas semua ini." begitu bunyi doaku setiap malam

Bapak dan ibuku pun sama sakitnya bahkan mungkin lebih ibuku seringkali menangis saat aku pura-pura tertidur saat beliau menghampiriku ke kamar. Sementara Bapak, pernah suatu kali aku menyaksikan beliau menangis diatas sajadahnya, dan aku mendengarnya menyebut namaku dalam doanya. Miris sekali rasanya, melihat orang-orang yang begitu mencintaiku harus menderita atas perlakuan orang yang sama sekali tak peduli atas keadaanku.

Beberapa hari kemudian, Jey menemuiku, dia menjemputku dengan mobil yang baru diebelinya. Aku masih ingat jelas, malam itu malam ulang tahunku yang ke 18, 25 Oktober 2012. Dia mengajakku ngobrol meski[pun rasanya sudah sangat berbeda, dia beberapa kali berusaha mencairkan suasana tapi aku tak terlalu menanggapinya. Dia bilang alsan dia menjauh bukan karena tak lagi mencintaiku, tapi karena kita terhalang hubungan persaudaraan. Aku sama sekali tak menggubris alasannya, bagiku itu hal yang tidak masuk akal. Kenapa dia tak mengutarakan sejak awal ? Kenpa baru seteah 4 tahun pacaran dia baru mengutarakannya?

Setelah mengajakku makan malam, adia mengantarku pulang. Setibanya di depan rumahku, saat aku membuka pintu untuk turun, dia meraih tanganku kemudian menyodorkan sebuah kotak berwarna kuning dengan motif bunga.

"Ini apa mas?" tanyaku
"Nanti buka aja di dalam, maaf cuma bisa kasih itu buat kamu."
"Oh, makasih mas..." kataku lirih

Aku beranjak turun dari mobil berwana biru keunguan itu, lagi-lagi dia menarik tanganku.

"Ada apa mas?"

Tanpa menjawab dan berbasa basi Jey mencium keningku lembut, aku kaget dengan perlakuan itu. Ada perasaan nyaman saat bersamanya tapi juga ada rasa takut bhwa itu hanya tipuannya yang kesekian kali. Segera aku bergegas turun dan lari menuju pintu belakang karena saat itu kondisi rumahku sedang kosong.

Sempat terlintas dalam benakku akankah Jey menyesal ? Akankah Tuhan menjawab doaku untuk membawanya kembali bersamaku ? Ah, rasanya itu mustahil.

Kulepas jaketku dan segera kuhempaskan tubuhku diatas pembaringan, aku tersenyum sambil membolak balik kotak yang diberikan Jey padaku. Aduh, perasaan macam apa ini? Adakah cinta sebodoh ini? Sudahlah, lupakan dulu tentang perasaanku. Aku mulai melepas solasi yang merekatkan bungkus pada kotak itu, kemudian aku buka untuk melihat isi di dalam bungkusan mungil itu. Satu buah jam tangan mickey mouse berwarna biru kutarik dari dalamnya kemudian kotak kosong itu aku lempar ke sudut ruang tempat aku menaruh tempat sampah berbentuk pinguin dengan pita lucu ala gadis remaja :).

Terdengar bunyi aneh saat aku melemparnya, seperti masih ada sesuatu di dalam kotak itu. Aku menuruni ranjangku dan melangkah menghampiri kotak itu dengan sedikit dag dig dug, aku kembali meraihnya. Kubuka lagi untuk kedua kalinya kotak pemberian Jey, mataku terbelalak, kulihat benda berwarna merah berbentuk hati kubuka tutupnya, dan tampak sebuah benda lambang ikatan suatu hubungan di dalamnya. Cincin dengan 3 permata itu kuambil dari persembunyiannya lalu kupasangkan sendiri di jemariku.

Perasaanku mulai bergejolak lagi, mengingat sejak lama aku menginginkan benda itu dari orang yang tepat. Sayangnya benda itu ternyata hanya kudapat sebagai benda kenang-kenangan semata, aku yang diberi cincin oleh Jey tapi Dina yang dinikahinya. Aku merasa tersambar petir untuk yang kesekian kalinya, baru kali ini aku merasa sangat terhina seumur hidupku. Aku mungkin bisa terima perlakuannya terhadapku tapi bagaimana ? Bagaimana dengan rasa malu yang harus ditanggung kedua orangtuaku, anak kesayangannya dipermainkan dan ditinggalkan dengan tidak terhormat.

Suatu malam aku mengajak Bapak dan mbak Ani untuk mengantarku kerumah Jey, aku mengemas seluruh benda pemberian Jey sembari menyeka air mata yang terus mengalir deras bak air terjun di musim hujan. HP, jam tangan, cincin, uang, celana, baju, kaos, mug dan semua yang berhubungan dengan dirinya kumasukkan dalam karung besar lalu kubawa bersama Bapak dan mbak Ani menuju rumah Jey.

Seperti tak lagi memikirkan rasa malu, aku mengetuk keras pintu rumahnya. Begitu pintu dibuka, tanpa basa basi aku langsung masuk dan membangunkan Jey.

"Bangun mas, aku mau bicara."

Dia masih tampak setengah sadar melihat aku, gadis yang pernah bersamanya selama bertahun-tahun ini duduk disamping sofa tempat ia terlelap.

"uahh, ada perlu apa ?" tanyanya tanpa rasa bersalah
"Bisa jelaskan apa maksud dari semua ini mas? Semua yang kamu lakukan?" desakku
"Apa yang mau dijelaskan, kita nggak bisa nikah karena kita saudara?"
" Semudah itu kah mas? Kenapa mas gak bilang sejak awal. Aku memang bisa kamu permainkan mas, tapi aku bukan gadis bodoh yang bisa tertipu sama alasan nggak bermutu seperti itu!"
"Kamu yakin mau tau?"
"Iya mas, kenapa kamu tega ninggalin aku buat orang lain ?"
"Karena aku cari cewek yang bisa diajak senang-senang, kamu terlalu polos, sekarang pacaran itu yang dicari nggak sekedar pegangan tangan, kamu tau kan maksudku?"

Aku diam seketika, lalu aku kembali terisak dalam tangisku, seperti itukah alasan Jey yang sebenarnya ? Memang aku sadar, kini dunia tak lagi mementingkan kesucian seorang gadis, tapi bagiku itu lebih berharga dari apapun yang aku miliki. Terekam jelas dalam memoriku, berulang kali Jey mendesakku untuk melakukan hubungan terlarang itu, bahkan sepat membawaku ke sebuah hotel, hanya saja dia selalu gagal karena mungkin tak tega melihat aku menangis.

Menyadari Bapak dan mbak Ani berdiri di belakangku, aku bangkit merangkul mbak Ani, lalu kutaruh karung berisi barang-barng pemberian Jey. Aku sempat emosi dan melempar jam tangan ke arahnya, dan Jey nyaris menamparku. Bapak pun tak tinggal diam saat itu, aku ditariknya menjauh dari Jey.

"Sudahlah nduk, kamu orang miskin, Jey anak orang kaya, dia tampan, jadi wajar saja kamu diperlakukan seperti ini. Bapak yakin suatu saat Tuhan akan membuat Jey membayar mahal semua ini, karma masih menunggu waktu yang tepat untuk menyadarkan yang bersalah nduk, sudah nduk ayo kita pulang." kata Bapak sembari mendekapku

Berbulan-bulan rasa sakit itu menghinggapi hariku, menggerogoti jiwa dan pikiranku, hingga saat itu au merasa tak ada lagi alasan bagiku untuk tetap tinggal di Pacitan, sebuah tempat yang dimana setiap jalan yang aku lalui seakan bercerita tentang semua kenangan yang kulalui bersama Jey, Jey yng kini telah resmi menjadi suami Dina, sekaligus seorang Ayah dari Diko, putra sulung mereka.

Setelah kepergian Jey dari hidupku, aku pernah mencoba beberapa kali menjalin hubungan dengan harapan aku bisa kembali merasakan hal yang aku rasa mustahil untuk kembali dapat aku rasakan, yaitu mencintai. Aku pernah menjalin hubungan dengan David, cowok asal Malang yang bisa dibilang mapan dan lebih dari Jey, hanya saja hubunganku kandas tak kurang dari 2 minggu. Karena kau pikir, tak adil bagi David jika aku menjalani hubungan dengannya hanya karena dia lebih dari Jey, hanya untuk membalaskan rasa sakitku. Hidup bukan hanya tentang itu bukan ?

Aku juga pernah menjalin hubungan dengan 2 orang yang memilik nama yang sama dengan Jey, untuk membedakan aku memanggil mereka Jack dan Joy. Hubunganku dengan Jack pun hambar, tak ada hal manis yang mampu aku rasakan, semua hanya keterpaksaan saj, terlebih setelah ku tau bahwa ibunya tidak menyukaiku. Lain halnya dengan Joy,cowok sederhana yang bisa dibilang alim dan sedikit kaku ini ternyata mampu membuatku melayang-layang.

Aku menemukan cinta yang sempat hilang dari diriku, Joy memiliki segalanya yang aku butuhkan. Aku tidak pernah malu sempat memiliki Joy, meskipun dia bukan laki-laki berpendidikan dan juga sama sekali nggak tau soal fashion. Joy hanya seorang sopir angkot yang bekerja keras dari pagi hingga petang untuk membahagiakan orangtunya. Dia laki-laki luar biasa yang sangat mencintai Tuhan dan keluarganya.

Setiap pagi Joy melemparkan senyum simpulnya saat melintas di depan rumahku, dan rutinitasku setiap pagi adalah menyapu halaman agar bisa melihatnya. Hidupku berubah kala itu, ada setitik kedamaian aat aku melihat binar mata indah itu. Dia begitu manis, perhatian dan senantiasa memperlakukanku dengan baik.

Dua bulan renda-renda cinta yang kusulam dengan Joy berlalu. Aku tau, setiap orang yang dapat memberiku kebahagian yang tak mampu kujelaskan juga akan memberi kesedihan yang tak mampu kujelaskan. Aku kehilangan lagi, sakit memang, karena setelah Jey aku hanya berhasil melabuhkan hatiku pada Joy. Aku sempat tidak bisa menerima kenyataan bahwa hubungan yang aku pikir akan menjadi yang terakhir itupun harus kandas.

Joy jatuh sakit ssehari setelah kami putus, aku mencoba menghubunginya tapi dia memilih untuk menghindariku. Aku tau cntanya sama, bahkan mungkin lebih besar dari cintaku padanya. Aku menangis dan sempat mengurung diri beberapa hari, hingga mencob melarikan diri ke Medan, tapi Joy mencariku dan membawaku pulang. Dia memotivasiku untuk melanjutkan hidup


Perlahan aku bangkit, aku menyadari masih ada banyak hal yang harus aku raih. Dan aku mulai berpikir, aku bisa memilih untuk terus bersedih atas apa yang telah hilang dari hidupku atau berbahagia dengan apa yang masih aku miliki. Ya, aku harus berbahagia untuk orang-orang yang pantas aku bahagiakan.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studyku ke luar kota, setelah lolos bidik misi di Jember, dan juga diterima di beberapa Universitas di Yogyakarta, akhirnya aku memilih kota Solo untuk meraih gelar D3 Komunikasi. Mimpi yang semula porak-poranda kini perlahan mulai kususun kembali dengan butir-butir kesabaran dangumpalan-gumpalan kasih sayang hingga harapanku mulai terajut kembali.

Aku di dampingi Bapak untuk mendaftar hingga aku mendapat kos untuk tinggal selama aku kuliah. Ibu kos ku terlihat baik, ramah dan selalu peduli, aku tinggal bersama keluarga yang begitu taat pada sang pencipta itu beserta beberapa teman kos yang lain. Di awal perkuliahan Bapak masih sering mendampingiku di Solo, hingga dirasanya aku sudah siap ditinggalkan.

Di kampus, aku bertemu dengan wajah-wajah baru yang terasa begitu asing, meski aku merasa dekat dengan seseorang di ruangan itu padahl belum pernah bertemu sebelumnya. Ku amati setiap gerak geriknya,setiap celotehnya dan diam-diam aku menjadi pengagum rahasianya. Dia seorang pemuda berprostur kurus, tinggi dengan kulit putih bersih yang membuatnya tampak berkilau diantaranya yang lain.

Keesokan harinya tiba acara pembagian kelompok untuk kegiatan PPS (Program Pengenalan Study), aku membaca di papan pengumuman, disana terpmpang jelas aku berada di kelompok 1 dengan 8 teman yang lain yang belum aku kenal. Dewi Anjani, Yathi, Dewi Uswatun, Anggraini, Andin, Ayu, Khosim dan Danu Ary Santoso. Semula aku bertanya-tanya, ada rasa penasaran, juga rasa takut bagaimana nanti akan berkenalan dengan mereka. Dan akhirnya hari PPS tiba.

Aku terengah-engah meniti tangga kampus menuju ruang seminar di lantai 3, lengkap dengan segudang barang bawaan ala anak ospek, haha. Suara kerumunan mahasiswa baru terasa memenuhi ruang ber AC itu. Deretan kelompokku berada di nomor 3 dari kanan, dan aku yang semula lelah dan muak karena benda-benda aneh yang harus aku bawa hari itu mendadak semangat luar biasa. Mau tau kenapa ?

Ternyata dia satu kelompok denganku, cowok yang sejak awal aku perhatikan diam-diam, pemilik nama Danu Ary Santoso itu ternyata dia. Jantungku berdegup kencang sekali, sampai-sampai aku takut seluruh penjuru ruang mendengarnya (gubrakkk..lebay gila). Semua berkenalan, dan mulai saat itu aku bisa benar-benar memandanginya dari dekat. Hanya saja aku tak cukup berani mendekatinya seperti yang lain, lantara kurang percaya diri.

Tiga hari masa PPS berlalu, aku mulai bersahabat dekat dengan Andin yang ternyata dekat dengan Danu. Sebenarnya perasaanku sedikit sakit waktu itu, apalagi aku tau Danu mempunyai segudang penggemar di kampus. Sempat tercium kabar dia menjalin hubungan spesial dengan kakak tingkat bernama Wanti. Tapi aku bisa apa ? Toh mungkin Danu tak pernah sedikit pun menoleh ke arahku.

Hari pun berganti bulan, aku dan Andin semakin dekat dan akrab layaknya saudara. Suatu hari di kampus Andin mengajakku belajar bersama dirumahnya,

"Nat, mau gak ikut belajar bahasa Inggris di rumahku? Kita bisa belajar bareng." ajak Andin
"Boleh tuh ndin, tapi kapan?"
"Malam ini, rencanaya aku mau belajar sama Danu, jadi kita berangkat dari kampus bertiga."
"Danu ???" tanyaku terkejut
"Iya, kenapa nat ?"
"Gak apa-apa kok, kirain cuma berdua sama kamu aja."
"Ya udah nanti kita nunggu Danu pulang dulu terus berangkat ya."
(Aku mengangguk)

Ada setitik rona bahagia di wajahku saat itu, aku akan duduk satu ruangan bersama dia yang aku kagumi.

(Sepulang kuliah)
"Ndin, aku ganti baju dulu ya?" ujarku
"Ya gak apa-apa, aku tunggu depan kos ya?"
"OK"

Tiba-tiba Andin mengetuk pintu kamar kos ku,

"Nat, ini aku diburu-buru, motornya mau dipake pengajian, kamu gimana?"
"Ya udah lain kali aja ndin."'
"Gini aja, Danu aku suruh jemput kamu ya, aku kasih nomornya nanti kamu hubungi dia."
"Tapi aku malu." jawabku kikuk sembari menyimpan nomor ponsel Danu

Setelah makan dan mengganti pakaianku, aku memasukkan kotak buku dan beberapa kamus ke dalam ranselku. Tap.. tap.. tap.., aku berjalan menuruni tangga dari kamarku yang berada di lantai dua saat itu.

"Bu, saya pamit dulu ya, mau belajar dirumah Andin." pamitku pada Bu kos
"Pulangnya jangan terlalu larut ya mbak, jaga diri." sahut Bu kos
"Enjeh bu."

Aku menggeser gerbang kemudian berlari kecil menghampiri Danu yang menungguku di ujung gang.

"Mas.." aku mencoba menyapanya dengan malu-malu
"Iya, eh bukannya kita udah saling kenal ya?"
"Hehe, iya mas, kan satu kelompok waktu PPS kemarin."

Dia mengulurkan tangan sebagai awal persahabatan kita, senyumnya masih terekam jelas dalam memoriku. Senyum terindah yang aku lihat selama 19 tahun menghuni bumi, haha (alay lagi).

"Berangkat yuk jeng, nanti kemaleman." ajak Danu
"Kok panggil jeng?" aku tertawa lebar mendengar sapaan khasnya
"Kalo nggak mau dipanggil jeng, jangan panggil aku mas dong. Masa masih unyu gini diapnggil mas? haha." selorohnya
"Ok Ok."

Sepanjang jalan kita berbincang dan tertawa bersama, dan lumayan cocok. Sesampainya dirumah Andin pun, kita lebih sering menghabiskan waktu bercanda daripada belajar dan tanpa aku sadari ternyata dia memperhatikan hal-hal kecil yang aku lakukan. Andin sempat mengambil satu foto malam itu dan aku masih menyimpannya hingga saat ini (ciee ciee..).



Setelah hari itu, aku dan Danu menjadi dekat, selalu ada hal-hl menarik yang bisa diperbincangkan. Dia humoris, sopan, dan sedikit menggemaskan :). Terbiasa dengannya membuatku seakan tak bisa terlepas dari bayang-bayang wajahnya, aku bahkan selalu kesulitan untuk terlelap semenjak dekat dengannya. Anganku selalu melayang tinggi, membayangkan semua yang indah tentng dirinya. Dan angan-anganku itu berubah menjadi doa yang perlahan kurangkai menjadi sebuah kenyataan.

Puji Tuhan, doaku terjawab 8 Oktober 2013. Hubungan kami dimulai dari pesan sngkat yng dikirimnya jam 08.13 WIB waktu itu,

"Kamu mau nggak jadi pelengkap hidupku?"

Kata-kata yang seakan membiusku untuk berkata iya, dan kita merajut jalinan kaish sejak hari itu. Semua berjlan indah, di memeperlakukanku dengan cara yang berbeda. Aku menemukan semua hal yang selama ini aku cari dalam diri seorang Danu yang baru aku kenal. Setiap hari aku bertemu dengannya di kampus, disamping itu kita juga mengabiskan waktu luang bersama, menghabiskan malam sepulang kuliah untuk belajar bersama.

Dia romantis, dan satu hal yang mungkin nggak bisa hilang dari ingatan adlah saat dia mencium  untuk pertama kalinya. Waktu itu, sepulang menjengukku saat aku sakit, aku mengantarnya ke depan gerbang, di tempat itu tangan kirinya meraih satu tanganku dan tangan kanannya mendarat di keningku, dia melukis tanda salib disana lalu membubuhinya dengan sebuah kecupan lembut yang sempat membuatku terpaku beberapa saat.

Hari-hari selanjutnya pun masih terasa begitu manis. Pernah suatu hari aku dan dia membuat janji untuk belajar Bahasa Inggris bersama, tapi sesampainya di kos Danu mengurungkan  niatnya untuk belajar, dia mengajakku keluar untuk lebih mengenal teman-temannya. Aku mengangguk saja, lalu berangkat dengan dandanan sederhana dan tingkah tampang polosku.

Hal romantis pun terjadi malam itu, teman-temannya tak berhenti menggodaku yang selalu diperlakukan manis oleh Danu. Sempat ada kejadian yang membuatku masih merasa deg-degan hingga sekarang. Saat turun dari motor, dia menaruh helm dan aku berniat menyeberang jalan lebih dulu, dan tiba-tiba datang becak bermuatan 2 penumpang dengan barang belanjaan datang dari arah kiri. 

"Awaassss !!!" teman-temannya berteriak memberi instruksi

Aku yang kaget karena nyaris tertabrak pun mematung dan memejamkan mata, tapi Danu begitu sikap menarik tanganku kearahnya hingga aku memeluknya erat. Seketika semua temannya berseloroh dengan berbagai nada menggodaku dan Danu. Aku duduk di kursi paling ujung yang dipilih Danu, dan wajahku kembali dibuatnya memerah. Bagaimana tidak, dia terus menggenggam tanganku, sesekali menciumnya, bertingkah sangat manja di bahuku, dan kemudian berbisik 

"Aku sayang kamu."

Salah seorang teman yang duduk di sebelahnya pun mendengar dan langsung berkicau merdu,

"Cieee...cieee Danu, aku sayang kamu nih ye.. haha."

Danu hanya tersenyum dan terlihat tak terlalu peduli dengan kicauan temannya. Dia justru menanti jawabanku atas ungkapannya itu, aku mengarahkan bibirku ke telinganya, aku bisikan lirih

"Tapi aku nggak sayang kamu."

Wajahnya terlihat bingung dan sedikit kaget, lalu aku mendekatkan wajahku,

"Aku nggak sayang kamu tapi sayang banget." jawabku dengan senyum tipis
Wajahnya terlihat bingung dan sedikit kaget, lalu aku mendekatkan wajahku,

"Aku nggak sayang kamu tapi sayang banget." jawabku dengan senyum tipis

Dengan tatapan malu-malu manjanya dia mencium lenganku lembut, dan mengulangnya beberapa kali hingga aku malu dilihat teman-temannya. Sayangnya malam itu terasa begitu singkat, aku harus kembali ke kos karena ibu kos memintaku segera kembali dan besok aku harus pulang ke kampung halamanku. Danu mengantarku pulang ke kos, tapi sepanjang jalan ia tak henti meminta untuk lebih lama bersamaku malam itu, ia meminta untuk beberapa waktu singgah di teras depan kosku sebelum dia pulang. 

Aku yang waktu itu masih sungkan memeluknya hanya memegangi jaketnya selama perjalanan. Seakan membaca pikiranku, ia meraih kedua tanganku dan melingkarkan di perutnya. Aku tersenyum dibalik punggungnya yang selalu wangi itu. 

Sssseettt, motor Bison dengan nomor plat AD6430RZ yang dikendarai Danu berhenti tepat di depan gerbang kosku.

"Yah...kok ada orang pacaran di teras." gerutunya
"Hmmm, kalo aku udah balik dari Pacitan aja kita ketemu lagi, nggak apa-apa ya? Sekarang kamu pulang, istirahat." pintaku
"Tapi aku masih kangen." rengeknya dengan nada manja
"Aku juga sayang, tapi kan masih ada banyak waktu." 
"Ya udah, aku boleh anter masuk?" 
"Boleh, ayo." jawabku seraya menggandeng mesra tangannya

Di depan pintu masuk dengan suasana gelap karena pukul 10 semua lampu harus dimatikan dan saat itu aku pulang hampir pukul  11 malam. 

"Sayang, anter sampai sini aja ya, aku nggak enak sama Bu kosnya." 
"Ya udah, besok pulang hati-hati ya sayang, cepat balik Solo." katanya sambil mengacak-acak rambutku
"Iya iya, pulang gih, hati-hati."
"Iya, nanti sampai rumah aku SMS ya?"

Aku menganggukkan kepalaku dan mencium tangannya, aku bergegas membuka pintu namun langkahku terhenti karena aku mendengar langkah kaki Danu kembali berjalan ke arahku. Dengan sedikit basa basi dia menggodaku,

"Kayanya ada yang ketinggalan deh." dia berdiri di hadapanku dengan senyuman nakal

Aku mendekatinya, kuletakkan tanganku di bahunya dengan sedikit berjinjit kaki, maklum karena posturnya jauh lebih tinggi aku agak kesulitan meraih wajahnya.

"Ini kan maksudnya?" aku yang semula malu langsung saja mendaratkan ciuman di pipi kirinya

Seketika aku merona dan dia menatapku seakan masih ada yang kurang.

"Yang kanan belum nih, nanti iri loh." celetuknya

Aku menciumnya lagi, dan dia memalingkan pipinya hingga bibirnya menyentuh bibirku, lembut sekali bibir berwarna merah muda yang terkesan sangat seksi dimataku itu. Waktu seakan berhenti dan membuatku hanyut di dalam dekapannya. Hingga seorang teman kos membukakan pintu masuk yang semula telah terkunci. Aku kaget, sedikit kikuk dan malu saat itu, tapi apa boleh buat? 

"Sayang, aku masuk ya, nanti aku SMS aja kalo udah dirumah." 
"Ya udah, nanti jangan bobok dulu ya, aku masih kangen."
"Iya bawel." sahutku dengan senyum lebar

Dengan langkah hati-hati aku berjalan melintasi ruang tamu dan meniti tangga menuju kamarku, untungnya Bu kos dan keluarganya susah tertidur lelap saat aku pulang, jadi 100% aman dari semprotan, hehe :).

Aku segera melucuti pakianku dan mengantinya dengan satu stel baju tidur, sikat gigi, mencuci muka, tangan dn kakiku. Mataku terasa begitu berat karena kantuk, tapi tetap saja perasaan berbunga-bunga itu membuatku sulit memejamkan mata, setiap saat bersamanya adalah sepenggal hidupku yang paling berharga. Tuhan aku benar-benar mencintainya.

"Drrrrrrrttt.... drrrttt..." Ponselku bergetar

Ada pesan dari nomor baru terpampang di layarnya, "085642xxxxxx". Aku yang penasaran langsung saja membuka pesan itu, begini isinya :

"Sayang, aku udah nympe rumah. Kamu besok pulang hati-hati, jangan nakal. Aku kehabisan pulsa, ini pake nomor Ardy, adekku, nomornya langsung hapus aja nggak usah di save. I Love You."

Namanya juga cewek, meskipun udah dibilangin nggak usah di save tetap aja aku save nomornya Ardy, buat jaga-jaga kalo ada apa-apa.

Setelah malam itu, aku dan Danu tidak saling bertemu selama 3 hari. Begitu banyak pesan-pesan manisnya yang membuatku rindu hingga saat ini. Dia selalu mampu menghipnotisku dengan nada dan kata-kata sederhana, setiap celotehnya yang terucap membuatku merasa bahwa ia adalh pribadi yang sangat istimewa.

"Sayang, aku balik Solo hari ini." bunyi pesanku
"Hati-hati ya sayang, ini aku udah berangkat kerja nanti malem ketemu ya sepulang kuliah?"
"Ok sayang :*."

Pukul 8 malam, sepulang kuliah Danu menungguku di belakang kampus. Aku lewat di depannya dengan menebar senyum rinduku. Aku berlalu begitu saja karena dia sedang mengobrol dengan salah seorang teman sekelasnya, namanya Awan. Selain itu, dia pun tampak menghisap sebatang rokok dan menikmatinya, jadi aku pikir biarkan dia menyusulku saja karena aku memahaminya.

Malam itu pun terasa begitu singkat, dan rasa kangen itu justru semakin bertambah di setiap pertemuanku dengannya. Ada-ada saja yang membuatnya layak untuk dikenang seumur hidup,  terlebih tingkahnya saat belajar denganku, aku harus mengulang lagi, lagi dan lagi untuk setiap penjelasan agar dia memahaminya. Teman-teman di kosku pun tak jarang tertawa geli melihat tingkahnya yang bisa dibilang tidak biasa untuk cowok seusianya yang terpaut 4 tahun 9 bulan lebih tua dariku itu. 

Bukan hanya menertawakan, tampang Danu yang sedikit polos itu membuat teman-temanku selalu mempunyai ide untuk berbuat jahil, seperti saat dia berpamitan untuk pulang malam itu. Seperti biasa aku menggandengnya menuju pintu gerbang.

"Sayang sepatuku dimana?" tanyanya kebingungan
"Loh tadi emang kamu naruhnya dimana ? Aku malah nggak tau."
"Tadi di depan pintu sebelah sini, kok tinggal satu ya?"
"Hmmm, diusilin anak-anak kali." gumamku

Kebetulan bola mataku yang berkeliaran ke berbagai sudutpun menemukan satu titik di atas pintu, sepatu berwarna cokelat bertali itu bersembunyi disana. Aku meraihnya, lalu kusodorkan dengan menahan tawa melihat wajah kesayanganku itu tampak panik. Dia menghembuskn nafas panjang menandakan sebuah kelegaan. 

Kebiasaan mengacak acak rambutku pun tak pernah dilupakannya, dia membelai lembut kepalaku, setelah mengikat tali sepatu ia bergegas bangkit dan menciumku, lamaaa sekali, hingga aku kesulitan untuk bernafas dan memutuskan untuk mendorong tubuhnya menjauh dariku. Dia memelukku dan aku mendengar bunyi dag dig dug begitu kencang di dadanya. Entah apa yang kita rasakan, tapi kita mengulangnya beberapa kali dengan sesekali menyelingi dengan bisikan-bisikan penuh makna dan berakhir dengan mencium tangannya di setiap ujung perjumpaan.

Minggu keduaku dan Danu pun masih manis, bunga-bunga cinta kian merekah memenuhi ruang di hatiku. Hanya ada tawa lengkap dengan kata bahagia semenjak ada dia di hidupku. 

Suatu malam hatiku dilanda gelisah tak menentu, dan ternyata sesuatu yang buruk benar-benar terjadi...





-bersambung













 





:)

 
Wanita idaman itu :

yang sibuk dengan pendidikannya,
sibuk dengan pekerjaannya,
sibuk mengelola keuangannya,
sibuk merancang masa depannya,
sibuk membahagiakan orang-orang yang disekelilingnya,
tapi masih berperan sebagaimana kodratnya,
masih mencurahkan waktu dan perhatian untuk orang yang dicintainya, 
masih peduli dengan rumah dan keluarganya,
tak pernah lupa untuk bersyukur atas apa yang dimilikinya,
tak pernah lelah memperbaiki dirinya,
tak pernah bosan membantu sesamanya,
tetap setia dengan hubungan yang dijalaninya,
tetap tersenyum walau dunia menghujatnya,
tak pernah membenci meski beribu orang menyakitinya,

Karena dia tau, dalam do'a Tuhan selalu bersamanya

Selasa, 17 Maret 2015

Untuk Sebuah Nama



Andai setiap orang berhak menulis kisahnya masing-masing,
akan kutulis kisahku seindah yang ku mau...
Andai setiap orang berhak tentukan, dengan siapa ia jatuh cinta,
akan kupilih sebuah hati yang pasti setia...

Andai waktu mampu kuputar kembali,
masih adakah kamu disana ?
Menantiku yang tak pernah menatap dalam rasamu

Kini Tuhan menegurku, disaat mungkin hatimu tak lagi untukku
Berjuta sesal bergema memenuhi relung jiwaku
Dimana kau ?
Dimana kau yang dulu menaruh hati 

Mungkinkah kau masih menanti ?
Seperti 5 tahun lalu, di simpang jalan semak berduri
Mungkinkah kamu akan kembali ?
Membawa asa bersama rinduku yang kini menghujat pada janji

Untuk sebuah nama, 
Dengarkan aku...
Aku pernah bersalah atas masa lalu
Aku pernah datang kemudian berlalu
Aku pernah berpaling pada hati yang lain
Tapi Tuhan inginkan rasaku kembali,
dan mungkin lebih indah dari rasamu saat ini

Tak bisakah kita mengulang masa itu ?
Tak bisakah kita saling memaafkan dalam sebuah pelukan ?
Tak bisakah aku mengganti semua yang telah hilang ?
Tak bisakah aku menjadi seseorang yang tidur di pembaringanmu,
yang pertama kau lihat ketika esok menyapa,
dan yang terakhir kau lihat ketika malam menjelang ?

Masih adakah harapan itu?
Harapan untuk menjalani takdirku bersamamu
Harapan untuk menjadi teman hidup yang setia mendampingimu
Harapan untuk mendapat panggilan "ibu" dari anak-anakmu
Masihkah ?

Jumat, 13 Maret 2015

DEMI IBUMU DI SURGA...

Sayang...
Beribu pinta telah ku kabulkan
Berjuta kata telah ku dengarkan
Semua yang menjadi inginmu berubah menjadi harusku

Sayang...
Diamku kini bukan tanpa alasan
Dinginku bukan pertanda sebuah kebekuan

Mengertilah...
Bahwa setiap hembus nafas
Setiap detak jantung 
Setiap tetes air mata
Setiap cucuran darah dan keringat
adalah harga sebuah nyawa

Sayang...
Tuhan mengirimku untuk melengkapi
Melalui Dia aku mampu menaruh hati
Meski tak mudah bagiku untuk kembali mencintai

Sayang...
Tahukah kau ?
Setiap kata yang menusuk jiwa
Setiap sikap yang mengundang lara
Seakan medorongku berucap kata selamat tinggal untukmu

Tapi aku melawan bisikan hati,
Aku terpaku pada ambisi
Aku berjuang meredam emosi
Karena ku tahu cinta ini pasti

Sayang...
Aku bertahan untukmu bukan semata karena cinta
Tak terlintas sedikitpun tentang harta
Karena aku percaya tak ada pengorbanan yang sia-sia

Dan demi ibumu yang ada di surga
Aku ingin putranya bahagia
Aku ingin putranya merasa berharga
Aku ingin menjadi seorang ibu yang kelak melahirkan cucu-cucunya
Agar ibumu tersenyum melihat bagaimana tangan Tuhan menyatukan kita
Saat doaku, doamu, doa kita,dan restunya bermuara pada amin yang sama

amin

Kamis, 12 Maret 2015

IBU.., AKU BOHONG :'(

Ibu...
Andai Ibu tahu, betapa berat jalan ini kulalui
Andai Ibu mengerti, betapa sakit pilihanku saat ini
Andai Ibu pahami, aku bersembunyi dalam duka tak bertepi

Ibu...
Putrimu ini sesungguhnya sangat mencintaimu
Tahukah Ibu ?
Aku tak pernah ingin berubah
 Ibu, bacalah hatiku...
Sejuta kebohongan tersimpan disana

Aku marah saat Ibu menasehatiku, itu BOHONG !
Aku tak peduli pada Ibu, itu BOHONG !
Aku membentak Ibu dan aku tak sakit, itu BOHONG !
Aku muak pada perhatian Ibu, itu BOHONG !
Aku tak pernah merindukan Ibu, itu BOHONG !
Aku tak memikirkan perasaan Ibu, itu BOHONG !
Aku lebih mencintai kekasihku dibanding Ibu, itu BOHONG !

Semua itu bohong Bu,
Diamku, amarahku, kata kasarku itu tak lain hanyalah sebuah topeng
Topeng yang menyembunyikan kerapuhanku
Topeng yang megubah putri Ibu menjadi begitu angkuh dan jahat

Ibu...,
Apakah sudah telambat bagiku untuk kembali ?
Aku ingin bersimpuh di kaki Ibu
Menangis sejadi-jadinya atas semua dosaku yang tak termaafkan
Menjerit atas kedurhakaanku pada orang sesuci Ibu

Ibu...,
Ampuni aku bu...,
Ampuni anakmu yang dibutakan dunia
Yang dilenakan oleh bualan pendusta

Ibu...,
Aku ingin menjadi putri lugu Ibu yang dulu...
Aku ingin menjadi putri yang selalu Ibu banggakan dulu...
Aku ingin menjadi permata yang selalu bersinar sepanjang hidup Ibu...
Aku ingin menjadi putri Ibu saja...
Putri yang bisa membawa bahagia di hari tua Ibu
Sesederhana itu saja...